Dokumentasi pribadi oleh Dr. Monty
Sejarah musik telah diawali sejak ribuan tahun yang lampau dan tidak ada yang tahu kapan persisnya, karena musik memang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Temuan perangkat musik seperti silver lyre dari era Mesopotamia (budaya Summeria) sekitar 2600 tahun sebelum Masehi merupakan salah satu bukti sejarah perangkat musik tertua. Tetapi amat boleh jadi kehidupan manusia dalam periode jauh sebelumnya telah melibatkan musik dalam bentuk sederhana yang merupakan bebunyian ritmis perkusif (tabuhan) yang melibatkan tepukan pada bagian tubuh, hentakan kaki (stomping) dan penggunaan benda alam seperti benturan batuan dan tiupan pada bilah bambu. Musik telah lama digunakan manusia untuk mendekatkan diri dengan semesta, karena bebunyian yang mereka hasilkan bertujuan untuk merefleksikan pengalaman hidup mereka dalam semesta.
Perangkat perkusi alami (bebatuan dan kayu) yang digunakan manusia pada budaya yang masih sederhana merupakan upaya manusia mengiringi irama semesta dan sampai sekarang bentuk ini masih digunakan. Pada era Summeria dan Yunani kuno melalui lyra manusia mengenal dawai guna mengiringi tuturan kisah naratif pujangga lama dalam melukiskan semesta, dan mulai era Yunani kuno inilah istilah Musik (muse) mulai dikukuhkan sebagai cerminan kehidupan yang disimbolisasikan ke dalam narasi hidup (amusement) sebagai “anak-anak” Zeus dan Mnemosyne (dewi ingatan).
Calliope adalah muse utama yang mewakili kisah epic (kepahlawanan), Euterpe mewakili puisi indah, Thallia mewakili komedi (narasi kehidupan ideal), Cilo (Kleio) mewakili mitos dan sejarah, Melpomene mewakili narasi tragedi kehidupan, Terpischore mewakili gairah tari dan paduan suara (choire), Erato mewakli romansa, Polyhymnia (ragam hymne) mewakili narasi sakral termasuk tembang pengkultusan alam (banyak digunakan untuk upacara pertanian untuk mohon kesuburan), Urania mewakili arah hidup selaku dewi “Kompas”. Jika kesemuanya disatukan tentunya menghasilkan musik yang memiliki kandungan kisah atau narasi kehidupan dalam bentuk puisi liris bermuatan romansa dan epik guna mengagungkan semesta dan menjadikan panduan hidup. Jadi kalau pada era ribuan tahun sebelum masehi boleh jadi manusia sekadar menirukan ritme semesta melalui perkusi, maka pada era Mesopotamia dan Yunani Kuno musik mulai digunakan sebagai tembang panduan hidup.
Musik bukan sekadar bunyi tetapi bunyi yang harmonis; kalau kelak kemudian muncul bentuk disharmony maka itu merupakan reaksi atau anti-thesa dari dasar harmony. Adalah Pythagoras yang mengawali menyusun harmoni bunyi berdasarkan hitungan matematis interval nada yang sampai sekarang menjadi landasan perangkat musik barat yang kita kenal sebagai do re mi fa sol la si. Ia mendapatinya melalui pemahaman bunyi genta pandai besi. Hasil dari harmonisasi bunyi ini dikemudian hari membentuk gugus major dan minor yang dijadikan dasar komposisi musik hingga era sekarang.
Musik dihasilkan dari adanya vibrasi suara hasil gesekan atau tumbukan zat (padat, cair, maupun udara). Hasil vibrasi ini menggetarkan lingkungan di sekitarnya, termasuk cairan tubuh pada manusia; seperti kita tahu bahwa 70% tubuh manusia merupakan kandungan cair (liquid); oleh karena itu musik bahkan suara atau bunyi berpotensi mempengaruhi manusia. Jika suara dan bunyi khususnya musik bernuasa harmony maka potensi harmony pada tubuh manusia akan tergugah; demikian pula jika bebunyian bersifat disharmony maka vibrasi yang dirasakan manusia juga bersifat disharmony.
Ketika individu mengalami gejala psikologis tertentu seperti stress dan cemas, maka kelenjar tubuh akan beresponse guna mengantisipasi kondisi tersebut (seperti aktivitas thyroid dan kelenjar adrenaline), dan lama jangka waktu relative panjang hal ini akan menimbulkan ketidak seimbangan psikofisik dan menimbulkan rasa tak nyaman. Jika individu yang bersangkutan mendengarkan musik bernuansa Harmony maka kondisi tak nyaman akan disetimbangkan dengan vibrasi harmony sehingga stress dan kecemasan mereda. Sebaliknya jika dalam kondisi stress dan cemas ia mendengarkan musik disharmony (nada terlalu keras, bunyi sumbang, berisi pekik dan derit) maka kondisinya akan semakin tak seimbang.
Seperti telah disinggung di atas musik mewakli 9 (sembilan) aspek narasi tak hanya bunyi tetapi kisah dan tuturan yang kemudian dijadikan panduan hidup. Musik spiritual berbentuk harmony dan berisi syair panduan hidup yang seringkali dijadikan tuntunan untuk mengatasi gejolak kecemasan dan ketidakberdayaan. Melalui komposisi harmony disertai syair tuntunan hidup individu dapat secara bertahap memaknai pengalaman hidup yang telah ia lewati. Kondisi ini menggugah kesadaran individu untuk dapat menjadi lebih mawas diri.
Demikian pula musik dalam bentuk lain seperti epik maupun romansa akan membuka wawasan kesadaran individu baik melalui tuntunan syair maupun melalui harmony komposisi nada. Harmony menjadi penting karena harmoni menjaga unifikasi suatu kondisi seperti perti keluarga harmonis menjaga kesatuan anggotanya, kondisi psikofisik harmonis adalah kondisi bugar yang menjaga kesehatan yang bersangkutan. Demikian pula musik harmony menjadi keseimbangan psikofisik individu untuk berkonsentrasi, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan secara harmonis. Sebaliknya bebunyian disharmonis bersifat destruktif dalam mengaktifkan fungsi kelenjar tubuh dan tentunya mempengaruhi fungsi kognitif (berpikir) individu.
Dengan nuansa music harmony, kreativitas individu akan lebih mudah berkembang, karena kretivitas membutuhkan “ruang” kreasi imajinatif guna beroleh inovasi tanpa kendala kekangan. Kreatif meliputi kemampuan memusatkan perhatian (konvergen) dan kemampuan berpikir divergen (beragam alternatif); proses ini membutuhkan “ruang” karya yang bila disertai harmoni vibrasi musik maka tentunya fungsi kognitif akan berlangsung harmonis selaras dengan potensi yang ia miliki.
Musik juga kini sering dijadikan sarana therapeutic (terapi), dan kondisi ini mulai disadari banyak orang sejak digunakannya musik untuk menghibur para veteran pada era perang dunia I dan II. Sifat terapeutik musik sendiri telah tercantum dalam kisah Nabi Daud, yang amat musikal sejak kecil ketika menggembala. Juga kisah tentang Nabi Sulaiman (The Songs of Solomon) telah banyak menyinggung dapak terapeutis musik. Tetapi adalah Everett Thayer Gaston (1901-1970), seorang psikolog US (University of Kansas, 1940-1960) yang mengawali pendekatan terapi musik sebagai sarana terapi. Langkah ini diikuti oleh Paul Nordoff, seorang composer lulusan Julliard music school untuk mengembangkannya lebih jauh.
Pendekatan terapi musik tentunya harus diselaraskan dengan keluhan masalahnya. Tidak ada jawaban umum bahwa musik tertentu akan serta merta membantu individu memperbaiki suasana hatinya. Musik memiliki kandungan irama (tempo), volume, harmony, dan warna bunyi (timbre). Sebagai contoh musik music mars (derap) pada tempo 3/4 dan menggunakan perkusi cenderung membangkitkan semangat, sedangkan musik dengan tempo andante (sedang – antara 70-80 ketukan per menit) cenderung bersifat menenangkan. Oleh karena itu tergantung keluhan masalah, dan familiaritas (pemahaman) musik dari individu yang bersangkutan perlu untuk dipertimbangkan. Jika yang bersangkutan tidak terbiasa mendengarkan musik klasik dan ia diperdengarkan musik klasik yang indih belum tentu ia bisa menikmatinya dan musik tersebut belum tentu dapat banyak membantunya.
Pendekatan lainnya adalah bukan music tetapi bunyi, dan temuan ini dikembangkan oleh Alfred Tomatis seorang dokter THT dari Kanada yang menggunakan uterine sound (bunyi kandungan) guna menenangkan. Dengan menggunakan headphone, seorang individu dibaringkan pada sofa sambil mendengarkan uterine sound, maka dia akan menjadi lebih relaks. Perkembangan uterine sound ini kini juga banyak digunakan di pesawat terbang untuk dapat dinikmati oleh para penumpang dengan mendengarkan bunyi tertentu (seperti tetesan air hujan, atau gemersik dedaunan, atau gemuruh ombak) untuk membantu memasuki kondisi relax.
Penulis: Dr. Monty P. Satiadarma, S.Psi., MS/AT, MFCC, DCH, Psikolog