Perspektif Kewarisan
Indonesia sebagai negara yang kental dengan budaya dan adat istiadat karena kemajemukkan kultur dan subkulturnya. Dengan begitu perkembangan hukum selalu mempengaruhi konsep hukum positif di Indonesia. Salah satunya mengenai kewarisan yang pengaturannya dilihat dari konsep hukum adat, hukum perdata, dan juga hukum islam. Sumber hukum perdata tentang pengaturan kewarisan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan sumber hukum islam dalam pengaturan kewarisan mengacu pada Kitab Hukum Islam, lalu pada hukum adat sendiri pengaturannya berpacu pada kebiasaan-kebiasan yang berkembang dalam suatu daerah tertentu biasanya hukum adat kewarisan akan melihat dari garis keturunan ibu dan/atau bapak.
Menurut A. Pitlo, hukum waris merupakan kumpulan peraturan yang mengatur hukum tentang harta kekayaan setelah kematian seseorang: yaitu tentang pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan konsekuensi dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya baik antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. Selanjutnya, Soebekti dan Tjitrosudibio mengemukakan hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewarisan merupakan segala bentuk peralihan harta benda seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta benda yang dimaksud termasuk hutang-piutang.
Sebagai pemberi waris (pewaris) tentunya memiliki hak dan kewajiban begitu pula penerima waris (ahli waris). Aspek pengaturan hukum kewarisan yang akan dibahas dalam penyuluhan ini meliputi penyelesaian pembagian besaran warisan kepada masing-masing ahli waris dan prinsip-prinsip waris itu sendiri. Di lingkungan masyarakat maupun keluarga sangat sering dijumpai permasalahan kewarisan. Termasuk pula di Desa Blok Duku permasalahan kewarisan erat sekali tentang pembagian besaran waris, hak, dan kewajiban hak waris. Lalu, masyarakat tidak mengerti terkait penerapan hukum dalam permasalahan kewarisannya, oleh karena itu tim penyuluh memberikan edukasi tentang aspek-aspek kewarisan dari 3 (tiga) sudut pandang hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Gambar 1.1 Dokumentasi Pelaksanaan PKM
A. Hukum Waris Perdata
Hukum Waris Perdata Barat diatur dalam buku II KUH Perdata (BW). Jumlah pasal yang mengatur hukum waris sebanyak 300 pasal yang dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan 1130 KUH Perdata yang dimulai dari Bab 12.
- Bab 12 tentang Pewarisan karena Kematian
- Bab 13 tentang Surat Wasiat
- Bab 14 tentang Pelaksanaan Surat Wasiat dan Pengurusan Harta Peninggalan
- Bab 15 tentang Hak Berpikir dan Hak Istimewa untuk Merinci Harta Peninggalan
- Bab 16 tentang Hal Menerima dan Menolak Warisan
- Bab 17 tentang Pemisahan Harta Peninggalan
- Bab 18 tentang Harta Peninggalan yang Tidak Terurus.
Menurut Pasal 833 KUHPER, ketika seseorang meninggal dunia, seluruh hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya. Dalam hal harta kekayaan, ahli waris menggantikan kedudukan pewaris. Lalu, berdasarkan Pasal 833 ayat (1) ahli waris dapat dibedakan menjadi mewaris langsung dan mewaris dengan mengganti ahli waris. Keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan pasangan hidup terlama adalah yang berhak atas warisan menurut hukum. Ahli waris dari keluarga sedarah pertama, kedua, ketiga, dan keempat terdiri dari empat kelompok. Dalam pembahasan tentang pembagian hak ahli waris menurut metode Ab Intestato. Salah satu karakteristik hukum waris Perdata Barat (BW) yaitu :
- Hukum waris Perdata Barat bersifat individu, bukan organisasi ahli waris. Ini menunjukkan bahwa ahli waris adalah perorangan dan tidak mengenal ahli waris yang berkelompok.
- Bersifat Bilateral yang artinya berhak menjadi ahli waris dari pihak bapak dan ibu.
Sistem pembagian warisnya bersifat sistem perderajatan. Bahwa ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya. Maksudnya adalah, seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa di dalam Undang-Undang terdapat dua cara untuk mendapatkan warisan, salah satunya adalah secara Ab intestato yang dikenal dengan adanya empat golongan ahli waris bahwa : – Selagi masih ada golongan I, maka tertutuplah kemungkinan golongan II, II, dan IV untuk menerima warisan dari ahli waris. – Jika golongan I tidak ada maka golongan II lah yang berhak menerima warisan dari pewaris dan tertutuplah hak waris untuk golongan III dan IV. – Jika golongan II tidak ada maka yang berhak menerima warisan adalah golongan III dan tertutuplah hak waris bagi golongan IV. – Jika ahli waris golongan III tidak ada maka yang berhak menerima warisan adalah ahli waris golongan IV. Jika semua ahli waris tidak ada maka seluruh warisan akan diserahkan kepada negara.
B. Hukum Waris Islam
Untuk menjadi ahli waris yang sah menurut hukum Islam, seseorang harus memiliki hubungan darah dan keturunan untuk menjadi ahli waris. Golongan ahli waris dalam hukum Islam yaitu :
- Kelompok ahli waris dari kalangan laki-laki : anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah , kakek dan terus ke atas , saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki dari ayah, paman, anak laki-laki, suami, tuan laki-laki yang memerdekakan budak.
- Ahli waris dari dari kalangan perempuan : anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek , saudara perempuan, istri, dan tuan wanita yang memerdekakan budak.
- Terdapat lima ahli waris yang yang tidak pernah gugur mendapatkan mendapatkan hak waris yaitu :suami, istri, ibu, ayah, dan anak yang langsung dari pewaris.
- Ashabah yang paling dekat yaitu: anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki ,ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki seayah dan seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki seayah dan seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman, anak laki-laki paman, dan jika ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang mendapatkannya.
Berdasarkan Pasal 176 KHI disebutkan bahwa “anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separo bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Selanjutnya pada Pasal 177 KHI mengenai bagian yang didapat ayah” ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Pada Pasal 178 KHI ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama sama dengan ayah.
C. Hukum Waris Adat
Di Indonesia, sistem kekerabatan biasanya digunakan untuk membagi waris. Sistem kekerabatan sendiri terbagi menjadi tiga kategori: patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral. Berdasarkan klasifikasi ini, hukum waris adat mempengaruhi pembagian harta warisan. Sistem kekerabatan patrilineal menarik garis dari pihak bapak.. Dalam hal ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol dibandingkan wanita dalam hal pembagian warisan, dengan begitu biasanya anak laki-laki mendapatkan pembagian warisan lebih banyak daripada anak perempuan. Contoh daerah-daerah yang menerapkan sistem kekerabatan ini dalam hal hukum waris adat adalah Lampung, Nias, NTT, dan lainnya. Matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis pihak ibu. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan sistem patrilineal yang membuat kedudukan wanita lebih menonjol daripada kedudukan dari garis bapak, dengan begitu pembagian warisannya pun lebih mengutamakan anak perempuan. Beberapa daerah yang menerapkan sistem kekerabatan ini dalam hal hukum waris adat adalah Minangkabau, Enggano, dan Timor. Selanjutnya sistem parental atau bilateral merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, anak laki-laki dan anak perempuan biasanya menerima jumlah waris yang sama, tidak ada yang unggul. Contoh daerah yang menganut sistem ini adalah Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan.
Manfaat Pelaksanaan PKM
Para kalangan masyarakat antusias dalam pemaparan materi ini dikarenakan topik yang dibawakan sangat berkaitan erat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat mendapatkan wawasan yang luas tentang kewarisan dari berbagai sudut pandang hukum positif di Indonesia. Lalu masyarakat aktif bertanya dan tak jarang berkonsultasi kepada tim PKM untuk meminta solusi hukum terkait permasalahan kewarisan yang mereka alami.
Volume 5 | No. 1 | Editor: Bagus Mulyawan
Penulis:
Ida Kurnia | idah@fh.untar.ac.id | Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Rizqy Dini Fernandha | rizqy.205210197@stu.untar.ac.id | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Filshella Goldwen | filshella.205210225@stu.untar.ac.id | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara