Pada pekan pertama Maret 2021, di media daring muncul daftar para perebut laki orang atau disebut “pelakor” dengan mengategorikannya mulai dari “pelakor” senior sampai yunior. Sejumlah nama artis perempuan disebut sebagai penyebab keretakan rumah tangga orang lain. Mereka dianggap merebut suami wanita lain hingga pernikahan mereka bubar.
Dalam label “pelakor”, ada kesan bahwa laki-laki itu pasif, tidak berdaya sehingga bisa direbut. Adapun perebutnya adalah perempuan aktif dan agresif dalam mencuri suami orang. Padahal, hubungan antara “pelakor” dan pasangannya merupakan sebuah hubungan perselingkuhan sebab kedua pihak sama-sama aktif, sama-sama memiliki peran yang sama.
Sama sekali tidak ada unsur pemaksaan dalam hubungan ini karena perselingkuhan berlangsung dua arah. Namun, kaum hawalah yang dilabeli sebagai perusak rumah tangga dan perebut suami orang. Hanya pihak perempuan yang distigmatisasi sebagai “pelakor” dan stigma ini menempatkan perempuan dalam posisi yang salah dan bertanggung jawab atas kandasnya perkawinan laki-laki. Adapun pihak laki-laki dianggap tidak berdosa, tidak memiliki tanggung jawab apa pun.
Perlakuan berbeda antara laki-laki dan perempuan ini tidak hanya terjadi pada isu perselingkuhan semata. Akan tetapi juga pada pemberian hukuman di pengadilan. Ada hubungan antara isu gender dan aspek hukum (Gilbert 2002, Tillyer 2015 dan Hardcastle 2018). Perempuan pelaku kejahatan juga dihujat lebih keras dibanding pelaku laki-laki.
Hujatan yang keras pada perempuan ini oleh Ann Llyod (1995) disebut sebagai kutukan ganda atau doubly damned. Dalam masyarakat, tumbuh semacam kepercayaan bahwa kejahatan yang dilakukan perempuan lebih fatal daripada yang dilakukan laki-laki. Gillian Mezey menguatkan pendapat ini dengan mengatakan bahwa bila perempuan melakukan sebuah pelanggaran, berarti wanita tersebut telah melampaui batas karena berani melawan semua aturan tentang apa yang disebut sebagai feminin.
Pada perempuan dilekatkan dualisme baik dan buruk. Ada perempuan yang baik dan ada perempuan yang buruk. Misalnya, label konotatif “piala bergilir” hanya berlaku pada perempuan, tetapi tidak pada laki-laki. Pria boleh bebas berganti ganti pasangan, tetapi jangan coba pada perempuan.
Kemungkinan akar dari dualisme ini berasal dari hegemoni budaya Jawa yang patriarkhal, pendidikan formal, dan juga media massa. Sejak masih kecil, perempuan diajarkan bahwa “kodratnya” adalah lemah lembut, tidak agresif, submisif. Adapun lelaki merupakan pemimpin, berwibawa, seorang patriarch.
Banyak kelompok masyarakat yang tidak menyadari bahwa pelabelan perempuan sebagai pelakor merupakan sebuah bentuk kekerasan simbolik. Karena kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan pemaksaan kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen agen sosial terdominasi maka pihak terakhir ini lalu menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil.
Artinya, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan masyarakat sebagai sesuatu yang sah, yang adil, masyarakat belajar untuk percaya bahwa dalam perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan, pihak perempuanlah yang agresif, penggoda, pencuri, perebut suami orang dan sah dinistakan sebagai “pelakor”.
Adapun pihak laki-laki adalah korban yang teperdaya, tidak berdosa, dan tidak memiliki tanggung jawab apa pun. Jadi masih bisakah kita semua menerima kenyataan bahwa “this is a man’s world and still a man’s world?“.
Ditulis oleh: Suzy Azeharie, Dra., MA, M.Phil.
Untuk artikel lengkapnya, silahkan klik: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/05/093911220/fenomena-pelakor-dan-menyalahkan-perempuan?page=all#page2.