Mengenal dan Menghindari Toxic Positivity
”It’s Okay To Not Be Okay”
Ani adalah seorang mahasiswi yang sedang kewalahan dalam mengikuti perkuliahannya. Ditambah lagi, ia sedih karena nilai ujiannya jelek. Ia mencoba untuk menceritakan kesulitannya ini pada kakaknya, Adi. “Gak seberapa itu, Dek. Tugas kuliah Kakak dulu jauh lebih banyak. Semangat dong, jangan banyak ngeluh!” jawab Adi. Bukannya termotivasi, Ani justru merasa salah karena mengeluhkan kesulitannya untuk menghadapi masalahnya yang “tidak seberapa” secara “normal”.
Pengalaman Ani di atas adalah dampak dari adanya toxic positivity. Menurut Quintero & Long (2019), toxic positivity adalah generalisasi berlebih terhadap perasaan bahagia dan optimis yang menyebabkan penyangkalan, minimalisasi, bahkan penghapusan pengalaman emosional manusia yang otentik.
Berikut adalah ekspresi dan pengalaman toxic positivity yang umum di kehidupan sehari-hari:
- Menyembunyikan perasaanmu yang sesungguhnya
- Merasa bersalah terhadap apa yang kamu rasakan
- Meminimalisasi pengalaman orang lain dengan ungkapan seperti “Bawa hepi aja!” dsb.
- Mencoba memberikan perspektif kepada orang lain (seperti “Untung cuma begitu, bisa lebih parah lho!” dsb.) alih-alih memvalidasi perasaan mereka.
- Menegur atau mengejek orang lain yang mengungkapkan perasaan negatif mereka (sedih, frustasi, marah, apapun yang tidak positif)
- Membiarkan hal-hal yang mengganggumu dengan alasan “It is what it is”.
Meski seringkali toxic positivity ditunjukkan melalui perilaku atau perkataan yang sederhana, dampaknya bagi kesehatan mental dapat menjadi besar jika tidak disadari dan diatasi. Dampak dari toxic positivity, antara lain:
- Rasa malu terhadap diri sendiri karena takut dipandang rendah atau lemah oleh orang lain.
- Stres karena tidak mampu meregulasi emosi dengan baik yang awalnya disebabkan karena terlalu sering memendam perasaan yang sebenarnya.
- Masalah dalam menjalin relasi, seperti sulit membuka diri dan sulit mendapatkan pertemanan yang tulus karena terbiasa memalsukan perasaan dan berpura-pura.
Menghentikan budaya toxic positivity harus dimulai dari diri sendiri. Cara kita menghadapi emosi yang dialami secara pribadi akan mempengaruhi bagaimana kita bersikap terhadap emosi orang lain. Menerima kenyataan bahwa kita sedang merasakan suatu emosi yang negatif membantu kita untuk coping dan mengurangi intensitas emosi tersebut. Contohnya, kita akan merasa lebih lega ketika menceritakan beban emosional kita pada orang lain, dibandingkan memendam semuanya sendiri dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Alih-alih menilai emosi manusia dengan kacamata hitam-putih, mulailah melihat emosi sebagai petunjuk tentang bagaimana kita memaknai pengalaman hidup. Misalnya, ketika ada teman yang pindah ke luar kota, kita merasa sedih karena mungkin, kita sangat menikmati menghabiskan waktu bersamanya dan kita takut kehilangan dirinya.
Secara pribadi maupun ketika berkomunikasi dengan orang lain, penting untuk tetap memperhatikan dan mendengarkan emosi yang dialami, meski terkadang emosi tersebut tidak mengenakkan. Tidak ada salahnya bersikap positif dan mencoba untuk melihat sisi baik dari masalah yang kita hadapi. Namun, ingatlah bahwa tidak ada orang yang hidupnya 100% bahagia dan sempurna. Semua orang punya masalah, dan semua orang berhak merasa sedih, kecewa, bahkan marah akibat apa yang ia alami. Menyangkal kenyataan ini dengan alasan “bersikap positif” hanya akan membuat kita hidup dalam kepura-puraan dan menghambat kita untuk berkembang secara emosional. (Keyla dan tim website)
DAFTAR PUSTAKA
Lukin, K. (2019). Toxic Positivity: Don’t Always Look on the Bright Side. Diakses pada 9 Juli 2020, dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-man-cave/201908/toxic-positivity-dont-always-look-the-bright-side
Quintero, S., & Long, J. (2019). Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes. Diakses pada 9 Juli 2020, dari https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/
Rahmiasri, M. (2019). Mengenal Toxic Positivity yang Tidak Baik Untuk Kesehatan Mental. Diakses pada 9 Juli 2020, dari https://kumparan.com/kumparanwoman/mengenal-toxic-positivity-yang-tidak-baik-untuk-kesehatan-mental-1sTNoEag59a/full