Pilih Laman
KAUM URBAN, MARI BERPERILAKU PRO-LINGKUNGAN

27 Juni 2016

Oleh: Admin Pusat

4

KAUM URBAN, MARI BERPERILAKU PRO-LINGKUNGAN Oleh: Bonar Hutapea, S.Psi., M.Si. Pakar Psikologi Sosial   Sudah mengalami berbelanja dengan kantong plastik harus berbayar atau dibatasi? Sejak 21 Februari 2016 yang lalu, berdasarkan Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar, secara resmi 23 kota di seluruh Indonesia menerapkan kebijakan tersebut. Terlepas dari masih perlunya waktu menunggu hasil evaluasi seberapa efektif penerapannya, kebijakan tersebut patut didukung dan dilaksanakan oleh semua warga bangsa ini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan.   Fakta bahwa lingkungan hidup semakin rusak dan menyebabkan banyak masalah serius dan menuntut penyelesaian agar tak semakin mengancam kehidupan manusia, tak terbantahkan. Perubahan iklim, polusi, hilangnya sumber daya alam dan bencana alam adalah beberapa di antaranya saja.   Masalah lingkungan adalah aspek negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan.  Hal ini sangat disadari oleh gerakan sosial dan lingkungan dan berfokus pada penempatan masalah lingkungan melalui advokasi, edukasi, dan aktivisme. Demikian pula, pemerintah pada level regional, nasional, maupun internasional.   Bagaimana dengan kalangan akademisi, peneliti, terutama Psikolog/imuwan Psikologi? Keprihatinan terkait masalah lingkungan juga disadari oleh American Psychology Associations (2009) dengan menegaskan adanya kebutuhan penelitian yang lebih pada dimensi psikologis manusia tentang permasalahan lingkungan hidup, terutama pemanasan global. Oskamp (2007) menyarankan bahwa keberhasilan generasi saat ini dalam mempertahankan suatu pola kehidupan dalam memelihara lingkungan merupakan cerminan bumi yang akan ditempati oleh generasi-generasi mendatang.   Aktivitas manusialah yang terutama menjadi penyebab masalah lingkungan hidup karena manusia sering kali gagal

memilih perilaku yang tepat yang mampu mengurangi dampak buruk bagi lingkungan hidup.  Karenanya, hal ini mesti disadari dan selanjutya memotivasi berbagai pihak untuk bersama-sama mencegah kerusakan alam yang lebih buruk dengan cara memilih untuk berperilaku pro-lingkungan.   Perilaku pro-lingkungan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk mengurangi dampak negatif yang berpengaruh pada lingkungan hidup dan dioperasionalisasi sebagai perilaku sehari-hari menyangkut pelestarian lingkungan hidup (Kollmuss & Agyeman, 2002). Usaha-usaha tersebut antara lain:  a) Reuse yakni menggunakan ulang material yang sudah pernah digunakan sebagai barang dengan fungsi yang sama atau digunakan ulang dengan fungsi yang baru (new-life reuse); b) Recycle, yakni pengolahan material bekas menjadi produk baru dan memaksimalkan potensi bahan tersebut sehingga bisa mencegah limbah; c) Eco-friendly purchasing behavior yakni perilaku membeli bahan-bahan yang ramah lingkungan; d) Energy Conservation, yakni usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan energi bumi.   Dengan kata lain, perilaku pro-lingkungan ditunjukan dengan aktivitas menggunakan material yang bisa didaur ulang, hemat energi, menggunakan transportasi ramah lingkungan, membeli dan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan, melakukan aksi penanaman pohon, hingga bergabung dengan organisasi pro-lingkungan hidup, terutama bagi kaum urban/kalangan perkotaan (United Nations, 2004). Sejumlah penelitian umumnya menyimpulkan semakin besarnya kepedulian penghuni kota, semakin kuat dan positif sikap mereka terhadap perilaku pro-lingkungan sebab terpapar dengan kerusakan lingkungan yang semakin parah (Chen, et al., 2011).   Sejauh ini, penelitian untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan perilaku pro-lingkungan menggunakan sejumlah pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan perilaku manusia terkait lingkungan antara lain adalah teori pilihan rasional, teori perilaku terencana, teori aktivasi-norma, teori perilaku terbiasa, dan teori-teori dalam kerangka kerja dilemma sosial (Liebe, 2010). Sejumlah pendekatan ini memiliki sejumlah asumsi perilaku yang berbeda dan menekankan variabel-variabel kunci yang berbeda. Sementara beberapa teori berfokus pada perilaku rasional, lainnya berfokus pada perilaku otomatis. Beberapa teori memperhitungkan biaya dan kemanfaatan (untung-rugi) sebagai penentu utama, yang lain berfokus pada norma moral. Di antara pendekatan dan teori yang paling banyak digunakan adalah teori perilaku terencana (Theory of Planned Behavior) dan teori determinasi diri (Self-Determination Theory). Sejumlah pendekatan dan teori inilah yang dimanfaatkan untuk membuat model-model perubahan perilaku menjadi semakin pro-lingkungan.   Meski demikian, masih sangat diperlukan penelitian lebih banyak disebabkan temuan yang belum konsisten dan penjelasan yang belum memadai, termasuk disebabkan, antara lain, instrumen penelitian berisikan variabel yang kurang menarik dari segi lingkungan. Misalnya belum mencakup perilaku yang lebih penting seperti menolak penggunaan kantong plastik dalam berbelanja seperti yang diharapkan oleh kebijakan melalui edaran Menneg Kehutanan & Lingkungan Hidup tersebut atau membeli kertas daur ulang. Ditambah lagi pernyataan Schultz et al. (2000) dan Leung dan Rice (2002) (dalam Chen, et al., 2011) bahwa riset lintas budaya dan internasional tentang prediktor perilaku pro-lingkungan amat penting demi keberhasilan kelestarian lingkungan sebab ruang lingkupnya masih terbatas, khususnya konteks non-Barat.   Nah, siapapun kita, mari berperilaku pro-lingkungan, mendorong orang sekitar kita berperilaku yang sama atau mari meneliti dan/atau melakukan intervensi terencana berdasarkan hasil penelitian secara khusus di Indonesia sebagai negara berkembang, tak hanya sebagai kekuatan ekonomi terbesar Asia Tenggara dan Asia, salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia, Negara kepulauan terbesar, dan penduduk dengan mobilitas geografis paling tinggi yang potensial mempengaruhi kondisi lingkungan. Kita berpeluang besar sebagai Negara besar dengan kontribusi terbesar bagi kelestarian lingkungan hidup dan keberlangsungan hidup generasi mendatang.   Sumber: American Psychological Association, Task Force on the Interface Between Psychology and Global Climate Change. (2009). Psychology and global climate change: addressing a multi-faceted phenomenon and set of challenges. Diunduh dari: http://www.apa.org/releases/climate-change.pdf. Chen, X., Peterson, M.N., Hull, V., Lu, C., Lee, G.D., Hong, D.A., & Liu, A.J. (2011). Effects of attitudinal and sociodemographic factors on pro-environmental behaviour in urban China. Environmental Conservation38(1), 45–52 doi:10.1017/S037689291000086X. Intergovernmental Panel on Climate Change (2007). Climmate change 2007: Impact, adaptation, and vulnerability. Cambridge: Cambridge University Press. Kollmuss, A. & Agyeman, J. (2002). Mind the gap: Why do people act environmentally and what are the barriers to pro-environmental behavior. Environmental Education Research8(3), 239-260 Liebe, U. (2010). Different routes to explain pro-environmental behavior: An overview and assessment. Analyse & Kritik01, 137-157. Oskamp, S. (2007). Applying psychology to help save the world: reflections on a career in psychology. Analyses of Social Issues and Public Policy7, 121-136. United Nations (2004). World urbanization prospects: The 2003 revision. New York, NY, USA: The United Nations.   (ST-Enes) Sumber gambar: koleksi pribadi admin

Berita terbaru

Agenda

11 Maret Hari Raya Nyepi
12 Maret Awal Puasa
19 Maret Kuliah Umum Bersama KSP RI
20 Maret Untar 4th Career Week