Dok: FEB Untar
Meningkatnya kesadaran global terhadap isu perubahan iklim, tuntutan investor atas praktik bisnis berkelanjutan, serta kebutuhan akan standar yang lebih spesifik dalam pelaporan keberlanjutan melatarbelakangi lahirnya International Standard on Sustainability Assurance (ISSA) 5000. Standar internasional ini dikembangkan oleh International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) sebagai panduan bagi akuntan dan auditor dalam memberikan assurance (jaminan) atas laporan keberlanjutan (sustainability report). ISSA 5000 menjadi penting untuk dibahas karena tidak hanya mengatur aspek finansial, tetapi juga menekankan tanggung jawab akuntan dalam memastikan kualitas informasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) perusahaan yang semakin relevan bagi masa depan.
Hal tersebut dijelaskan oleh Audit & Assurance Director dan ESG Assurance Leader KPMG Indonesia Angga Pujaprayoga saat memberikan materi terkait pengenalan ISSA 5000 di Kampus II Untar, Jumat (22/08/2025). Seminar ini diselenggarakan oleh Program Studi (Prodi) Sarjana Akuntansi Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Untar sebagai bagian dari upaya mempersiapkan mahasiswa menghadapi dinamika standar profesi akuntansi global.
Angga saat memaparkan materinya // Dok: Humas Untar – CS
Dalam sesi materi, Angga menjelaskan bahwa ISSA 5000 merupakan pengembangan dari standar sebelumnya, yaitu International Standard on Assurance Engagements (ISAE) 3000 yang bersifat umum dan ISAE 3410 yang mengatur greenhouse gas assurance. Namun, kedua standar tersebut belum secara spesifik mengatur pelaporan keberlanjutan. ISSA 5000 hadir untuk mengisi kekosongan tersebut, sekaligus menjawab kebutuhan investor yang kini tidak hanya menuntut return on investment (ROI), tetapi juga menilai bagaimana perusahaan mengelola dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Lebih lanjut, Angga menegaskan bahwa ISSA 5000 akan menjadi standar global dalam penyusunan dan pemeriksaan sustainability report, sejalan dengan standar pelaporan keberlanjutan yang telah diterbitkan oleh IFRS Foundation, yakni IFRS S1 (General Sustainability-related Disclosures) dan IFRS S2 (Climate-related Disclosures). Di Indonesia, kedua standar ini akan diadopsi menjadi Pernyataan Standar Pelaporan Keberlanjutan (PSPK) 1 dan PSPK 2 yang efektif berlaku mulai 2027. “ISSA 5000 menekankan aspek assurance terbatas hingga penuh, mencakup pengungkapan kuantitatif dan kualitatif, analisis proyeksi jangka panjang, hingga pemahaman atas pengendalian internal perusahaan,” jelasnya.
Meski menjadi tonggak penting dalam akuntabilitas keberlanjutan, penerapan ISSA 5000 juga menghadirkan sejumlah tantangan. Perusahaan dituntut menyiapkan sistem pelaporan yang lebih transparan, meningkatkan tata kelola internal, serta memastikan data keberlanjutan yang dilaporkan benar-benar kredibel.
Ketua Program Studi Sarjana Akuntansi Bisnis Dr. Hendro Lukman, S.E., M.M., CPMA, CA, CPA (Aust.), CSRS, ACPA menegaskan bahwa pengenalan ISSA 5000 menjadi langkah strategis bagi mahasiswa untuk memahami arah baru profesi akuntan. “Dengan adanya standar ini, akuntan tidak cukup hanya memahami laporan keuangan, tetapi juga harus mampu memberikan pandangan kritis terhadap isu lingkungan, sosial, dan tata kelola. Kami berharap mahasiswa Untar siap menjawab tantangan global tersebut dan menjadi akuntan yang relevan di masa depan,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, seminar ini tidak hanya menjadi ruang pengenalan standar baru, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa. Sebagai akuntan masa depan, mereka diharapkan tidak hanya berpikir teknis, tetapi juga memahami implikasi sosial, lingkungan, dan etika dari praktik bisnis.
(CS/YS)