Terkenal dengan sebutan Negara Pagoda Emas, Myanmar menjadi negara yang saat ini sedang mengalami masa sulit. Penangkapan secara paksa Presiden Myanmar Win Wynt dan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi oleh militer pada 17 Februari 2021 membuat suasana politik di Myanmar kian hari kian tidak menentu. Ini diperumit dengan adanya pandemi Covid-19 yang masih dalam proses penanganan.
Media massa pun ramai mengabarkan terjadinya demonstrasi di sudut-sudut kota di Myanmar. Demonstrasi tersebut menyerukan agar militer membebaskan presiden dan tokoh penting lain di Myanmar.
Demonstrasi berubah menjadi kisruh yang mengakibatkan banyak korban kehilangan nyawa. Menurut pedemo, militer dianggap bertindak kejam, kekejaman tersebut dipotret dalam gambar dan video yang diunggah oleh masyarakat Myanmar melalui berbagai media sosial.
Dengan bantuan hashtag atau tagar #savemyanmar, #justiceformyanmar, #saveburma, #prayforMyanmar dan lain-lain. Masyarakat Myanmar berusaha menyerukan keadilan, kedamaian, sekaligus pertolongan bagai negara lain untuk membantu Myanmar.
Upaya yang dilakukan masyarakat tersebut merupakan sebuah gerakan opini digital. Dalam kajian teknologi komunikasi, gerakan opini digital atau Digital Movement of Opinion (DMO) merupakan sebuah teori bercerita tentang media sosial yang menciptakan jaringan virtual antara pengguna media sosial secara spontan dan tidak terorganisir.
Secara spontan biasanya membahas topik tertentu dengan durasi yang tidak terlalu lama dan akan beralih kemasalah yang lain (Eriyanto, 2020). Biasanya bentuk Gerakan Opini Digital seperti memberikan komentar, meme atau ejekan visual, membalas postingan dan lain-lain.
Gerakan opini digital tentu berbeda dengan gerakan sosial yang biasanya terjadi dalam realitas sosial dimana gerakan sosial dilakukan sekelompok orang untuk tujuan solidaritas atau tujuan tertentu. Gerakan opini digital terjadi dalam ruang virtual, misalnya dalam petisi online atau hashtag.
Salah satu sosok yang menjadi sorotan dalam aksi unjuk rasa ini adalah tewasnya demonstran bernama Kyal Sin. Perempuan berusia 19 tahun ini menjadi simbol semangat masyarakat Myanmar yang tanpa henti menyuarakan opini keadilan, kedamaian, dan pertolongan. Muncullah tagar “Everything Will Be OK” untuk menggelorakan semangat perlawanan seperti dilakukan oleh Kyal Sin.
Gerakan opini digital Myanmar menjadi peranan penting dalam menginformasikan kepada dunia tentang keadaan Myanmar saat ini. Gerakan ini diharapkan masyarakat Myanmar mendapatkan simpati dan bantuan dari negara-negara sekitar untuk membantu perdamaian Myanmar termasuk Indonesia.
Meskipun dalam situasi pandemi Covid-19, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia telah mengupayakan perdamaian Myanmar. Hal tersebut menunjukkan Indonesia tetap berkontribusi dalam menjaga perdamaian dunia.
Penulis: Sinta Paramita, S.I.P., M.A.
Sumber: Kompas.com